Sungai Brantas



Sejak abad ke-8, di DAS Brantas telah berdiri sebuah kerajaan dengan corak agraris, bernama Kanjuruhan. Kerajaan ini meninggalkan Candi Badut dan prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M sebagai bukti keberadaannya. Wilayah hulu DAS Brantas di mana kerajaan ini berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan irigasi yang teratur sehingga tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa Timur (Tanudirdjo, 1997). 

Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi sumber air yang memadai. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Brantas, lewat Prasasti Harinjing di Pare. Ada tiga bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun 726 S atau 804 M dan yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut dawuhan pada anak Sungai Konto, yakni Sungai Harinjing (Lombard, 2000).

Sungai Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi Jawa Timur mengingat 60% produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini. Akibat pendangkalan dan debit air yang terus menurun sungai ini tidak bisa dilayari lagi. Fungsinya kini beralih sebagai irigasi dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota disepanjang alirannya. Adanya beberapa gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini.

Hal ini menyebabkan tingkat sedimentasi bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi. Dalam sumpahnya, Lembu Sora bahkan menyatakan "Blitar dadi latar, Tulungagung dadi kedung, Kediri dadi kali" (bahasa JawaBlitar menjadi lautan pasir, Tulungagung menjadi kubangan air, Kediri menjadi sungai),[11], yang kemungkinan terinspirasi dari kondisi Sungai Brantas pada saat itu.

Merujuk khazanah sastra periode klasik, sungai Brantas inilah yang diduga kuat disebut sebagai Ci Ronabaya dalam naskah Perjalanan Bujangga Manik.

Lebih baru Lebih lama